Harian Sulawesi | JAKARTA — Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bidang Hubungan antar Lembaga, M Natsir Zubaidi menganggap rencana pemetaan masjid sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikal, adalah hal yang naif dan mengada-ada.
Dia mengatakan, selama tiga tahun terakhir masjid justru menjadi fasilitator kegiatan sosial dan penyaluran bantuan kepada masyarakat.
“Pemetaan masjid yang dikaitkan dengan radikalisme atau terorisme adalah tindakan yang naif dan terkesan mengada-ada!” kata Natsir kepada Republika.co.id, Ahad (30/1/2022).
Natsir mengatan, selama pandemi covid 19 ini, Pimpinan Pusat Dewan Masjid Indonesia (PP DMI), bekerja sama Kementerian Kesehatan, Kemenag, BNPB, Pemda dan pihak Swasta seperti Unilever, TOA, dan lain melakukan penyemprotan masjid dan tempat-tempat ibadah lain.
Juga membantu pendidikan daring di masjid, membagikan sembako bagi masyarakat sekitar yang terkena musibah baik bencana alam maupun, karena pandemi,
Menurutnya, masjid telah menjadi ujung tombak untuk menjaga dan memelihara kesehatan, kesejahteraan dan pendidikan masyarakat.
Beragam fasilitas dan kegiatan yang digelar masjid, kata dia, juga tak lain bertujuan untuk mengedukasi dan menjadi sumber informasi bagi masyarakat.
“Kita bisa membayangkan kalau per masjid itu ada 500 jamaah, dengan jumlah seluruh masjid di Indonesia itu ada 900 ribu, maka berarti jangkauan penyiaran informasi dan edukasi bisa mencapai 54 juta jamaah. Belum lagi kapasitas jumlah berapa kali orang shalat dan mendengarkan pengajian serta acara dua hari besar Islam dan nasional di masjid,” jelasnya.
Karena itu dia menegaskan, tidak mungkin masjid menjadi sarang teroris. Masjid adalah sarana yang sangat transparan dan terbuka bagi masyarakat.
Dia mengingatkan bahwa penceramah maupun dai tidak dapat serta-merta memengaruhi jamaah dengan ceramahnya, karena setiap masjid dipastikan memiliki pengurus, khatib, imam, dan penasihat yang memiliki ilmu keagamaan yang mumpuni. Sehingga risiko adanya upaya brain-washing masih dapat diminimalisir.
“Belum lagi jamaah masjid saat ini cukup kritis terhadap materi ceramah yang diberikan oleh sang Khatib. Oleh sebab itu, upaya mapping yang akan dilakukan oleh pihak Polri, sebaiknya dikonsultasikan terlebih dulu dengan Kemenag, MUI dan DMI,” kata dia.
Dia mengatakan, selama ini pihak Kemenag RI, kalau ada pembahasan soal kemasjidan, selalu mengundang DMI. Bahkan penyusunan profil masjid paripurna disusun bersama dengan pihak Kemenag.
“Jadi justru masjid telah banyak memberikan sumbangan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa kita,” sambungnya.
Dia berharap Polri tidak gegabah dalam memutuskan suatu gagasan. Menurutnya, diskusi antarlembaga sangat penting dilakukan untuk menghindari terjadinya pertentangan maupun pergolakan di masyarakat.
“Kami berharap agar Polri mengundang DMI dan MUI untuk merumuskan secara bersamaan kebijakan penanggulangan terorisme. Karena penanganan terorisme, ada pendekatan hard approach, ada soft approach. Dan yang paling bagus adalah soft and smart approach,” ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Keamanan Negara Badan Intelejen dan Keamanan Polri Brigjen Umar Effendi mengatakan, Polri berencana melakukan pemetaaan masjid sebagai upaya pencegahan penyebaran paham radikal. Rencana ini, kata dia, merujuk pada masih banyaknya masjid yang berindikasi sebagai pusat penyebaran paham radikal.
“Kemarin kita juga sepakat dalam diskusi mapping masjid, pak mohon maaf, di masjid ini juga sekarang warnanya juga macam-macam ada yang hijau, ada yang keras, ada yang semi-keras dan sebagainya. Nah ini juga menjadi perhatian khusus kita semua,” kata Umar dalam kegiatan Halaqah Kebangsaan MUI, Kamis lalu (27/1/2022).