Example 1280x250

Rembuk Budaya Buol Perdana 2025 Dipastikan Dihadiri Gubernur Sulteng H. Anwar Hafid

Penulis : Suleman Latantu

Harian Sulawesi | Buol – Pemerintah Kabupaten Buol di bawah kepemimpinan Bupati H. Risharyudi Triwibowo MM dipastikan akan menggelar kegiatan Rembuk Budaya Bokid Hadato.

Kegiatan Rembuk Budaya Hadato yang akan digelar 28 – 29 Mei 2025 adalah untuk pertama kalinya di Sulawesi Tengah,

Kegiatan yang akan digelar di Anjungan Leok 1 ini menjadi tonggak sejarah baru dalam upaya penguatan budaya dan kelembagaan adat Buol, dan
diharapkan tidak hanya menjadi forum musyawarah para tokoh adat dan pemangku kepentingan budaya, tetapi juga melahirkan keputusan-keputusan penting terkait arah kebudayaan, politik adat, dan konsensus bersama yang akan mengikat seluruh elemen masyarakat Buol.

Menyusul dalam Rembuk Budaya ini bakal dirumuskan empat rekomendasi utama.

1. penguatan kelembagaan Kerajaan dan Dewan Adat Buol.

2. Pembentukan Peradilan Adat Buol sebagai wadah penyelesaian sengketa berbasis hukum adat.

3. pembentukan Dewan Kesenian Buol untuk mendorong pelestarian dan pengembangan seni budaya daerah.

4. penguatan literasi Bahasa Buol yang akan dimasukkan ke dalam kurikulum muatan lokal di tingkat sekolah dasar dan menengah pertama.

Seluruh rekomendasi yang dihasilkan dari forum ini akan diusulkan Pemerintah Kabupaten Buol kepada DPRD untuk dijadikan dasar hukum dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Kerajaan dan Dewan Adat Buol.

Menurut Bupati Buol Bowo Timumun, kegiatan ini dijadwalkan akan dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah H. Anwar Hafid, Dewan Adat Kabupaten Buol, serta para tamu undangan dari pemerintah provinsi dan daerah lainnya yang akan menyaksikan langsung pelaksanaan Rembuk Budaya Bokid Hadat 2025.

“Saya mengajak seluruh unsur Forkopimda dan elemen masyarakat untuk bersama-sama menyukseskan semarak acara ini,” ujarnya.

Ia juga menekankan pentingnya koordinasi antar jajaran Birokrasi Daerah.

Kepada seluruh asisten, Sekretaris Daerah, para pimpinan OPD, dan staf ahli, Bupati berpesan agar menjalin kerja sama yang erat dengan panitia pelaksana demi kelancaran acara.

“Koordinasi dan kerja sama adalah kunci. Mari kita wujudkan Rembuk Budaya Bokid Hadat sebagai momentum bersejarah bagi kebudayaan Buol,” pungkasnya.

Sementara mengutif tulisan “Om Pogogul” bahwa melalui Hadato Vhuoyo, pakaian adat yang tak hanya membungkus tubuh, tapi juga menghangatkan jiwa.

Kunilo Buaiy ( perempuan ) dan Kunilo Maane, ( Laki Laki) adalah dua nama yang terdengar seperti mantra, bukan sekadar mode berpakaian.
Mereka adalah identitas. Pada tubuh perempuan Buol, melekat 24 elemen pakaian.

Dari Haruas hingga Na’alyo, setiap bagian adalah simbol. Bubulyo bukan sekadar hiasan, ia adalah lambang kematangan perempuan. Bodu gua dan Bodu didik bukan semata kain pelengkap, tapi penanda nilai, etika, dan posisi dalam masyarakat.

Sementara itu, Kunilo Maane atau pakaian pria, memancarkan wibawa dan ketegasan. Lihatlah Makuta, mahkota yang menghiasi kepala pria bukan hanya lambang kekuasaan, tapi juga tanggung jawab.

Songgo pasumen dan taud, dua bentuk ikat kepala berbeda, menjadi refleksi kebijaksanaan dan keberanian. Bahkan Kelut (keris), yang diselipkan di pinggang, bukan semata senjata, tapi perwujudan keberanian yang tidak pernah mencari pertempuran, hanya menjaga kehormatan.

Jadi yang terkesan bukan jumlah kelengkapan pakaian ini melainkan filosofi yang menyusup ke tiap jahitan dan lipatan kain.

Di dunia yang semakin mengejar keseragaman global, Hadato Vhuoyo seakan menjadi bisikan lembut dari masa lalu “Jangan lupakan asalmu. Jangan ganti akar dengan tren.”

Pakaian adat Buol mengajarkan kita bahwa berpakaian bukan hanya tentang menutup tubuh, tapi mengungkapkan nilai.

Di balik Lripa ( sarung ) yang dikenakan bersama Galaang, ada kerja tangan ibu-ibu penenun, ada cerita desa yang menolak padam. Ada cinta yang dirajut dengan benang.

Mari kita jaga Hadato Vhuoyo bukan sebagai kostum yang hanya dipakai saat seremoni, tapi sebagai warisan hidup yang dirayakan, diceritakan, dan dikenakan dengan bangga.

Sebab ketika kita memakai pakaian adat kita, sejatinya kita sedang memeluk siapa diri kita sesungguhnya.

Namun, tantangan datang di tengah arus modernisasi. Tidak semua anak muda Buol mengenal nama-nama seperti puyuka molyanggat atau ondorok.

Maka, mempertahankan Hadato Vhuoyo bukan hanya tugas para penenun, tetapi tugas kita semua agar kisah yang disulam di tubuh itu tak pernah hilang dari ingatan kolektif.

Sebab Hadato Vhuoyo bukan hanya pakaian. Ia adalah pernyataan, bahwa kita masih punya akar, dan kita bangga memilikinya.(**)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *