Foto : Marwan AK, Ketua Tim Independen Pemantau Penyelenggaraan Pembangunan (TIP3) Sulawesi Tengah & material Tembaga desa Oyom (f-ist)
Harian Sulawesi | Tolitoli – Usaha tambang rakyat di desa Oyom Kecamatan Lampasio Kabupaten Tolitoli akhir-akhir ini menjadi target rebutan lahan, mulai dari Pemerintah desa, pihak Badan Pengurus Desa (BPD) hingga masyarakat lokalnya.
Berdasarkan informasi terhimpun, anomali saling rebut lahan tambang rakyat terus menjadi pembicaraan serius warga desa Oyom kecamatan Lampasio, mengingat jumlah Koperasi yang berafiliasi pada usaha tambang rakyat sekitar 32 unit.
Antara lain 12 unit Koperasi dibentuk oleh masyarakat lokal dari koperasi bantuan group Arung Punggawa. Sementata ada 22 unit koperasi yang dibentuk oleh PT Sulteng Mineral Sejahtera (PT-SMS).
Namun secara umum menyangkut rencana pengelolaan tambang rakyat di desa oyom, terdapat 3 blok (kelompok) masyarakat, diantaraya blok yang dipimpin oleh kepala desa Oyom dengan 8 koperasi dan berafiliasi dengan group koperasi arung punggawa.
Begitu juga blok yang dipimpin oleh ketua BPD desa Oyom yang terafliasi dengan PT SMS dan 4 koperasi lainnya dan merupakan koperasi mandiri masyarakat yang bergabung dalam koperasi mitra tambang pasonguan.
Buah bibir masyarakat desa Oyom pun mulai bertanya-tanya soal adanya blok-blok koperasi yang dipimpin oleh tokoh-tokoh di desa Oyom yang merupakan alasan klasik dibalik stigma buruk pertambangan yang kerap diwarnai konflik hingga unjuk rasa diakibatkan rebutan wilayah pertambangan.
“Dan ini cukup beralasan karena luas WPR di desa Oyom hanya 97 hektar, sementara satu koperasi mendapatkan luasan 10 hektar sehingga dari 32 unit koperasi bisa dipastikan akan ada puluhan koperasi yang nantinya tidak akan mendapat kesempatan untuk memiliki IPR” demikian pernyataan Marwan AK, Ketua Tim Independen Pemantau Penyelenggaraan Pembangunan (TIP3) Sulawesi Tengah.
Menurut Marwan, spekulasi pengelolaan tambang rakyat secara ilegal oleh beberapa pihak juga telah berulang kali ditangani oleh Polres Tolitoli.
Bahkan ditahun 2022 terdapat puluhan ton material tembaga yang diangkut ke Kota Lalu dan 9 ton yang sempat diamankan di Polsek Lampasio sebagai barang bukti waktu itu.
Jika demikian, Marwan menilai bahwa potensi konfilk antar warga setiap saat bakal menjadi ancaman dalam pengelolaan material tembaga yang berada dalam kawasan hutan lindung yang telah ditetapkan pemerintah sebagai wilayah pertambangan rakyat.
Sementara saat ini kata Marwan, PT Sulteng Mineral Sejahtera adalah pihak yang paling aktif dalam mengurus kelanjutan proses WPR menjadi IPR.
“Dan tanggal 25 Maret 2025 lalu atas inisiasi dari PT SMS, Dirjen Planologi Kehutanan telah merubah status blok wilayah pertambangan rakyat di desa Oyom dari sebelumnya merupakan zona PIPIB menjadi zona yang dapat diberikan izin sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku” ujarnya.
Meskipun demikian kata Marwan, status hutan lindung masih tetap melekat pada wilayah penambangan rakyat desa Oyom, sehingga selain upaya untuk menurunkan status kawasan hutan, izin pertambangan rakyat tetap belum dapat diproses untuk diterbitkan.
Dia menambahkan, jika memang WPR yang nyatanya berada ditengah kawasan hutan lindung dan faktanya berdasarkan dokumen pengelolaan WPR yang telah diterbitkan oleh tim dari pemerintah pusat ternyata WPR desa oyom tidak memenuhi syarat untuk diproses menjadi IPR.
Maka pemerintah harus berani untuk memberikan penjelasan agar tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk terus memberikan harapan palsu pada masyarakat.
Selain itu, adanya perusahaan swasta yang membentuk koperasi dan bertindak sebagai pembina adalah hal yang baik sebut Marwan, namun dengan adanya hal tersebut tentu kinerja pemerintah daerah patut dipertanyakan.
“Sudah waktunya pemerintah daerah mensinergikan PTSP, Dinas Lingkungan Hidup, UPT Gunung Dako, Dinas Koperasi, Dinas PUPR serta pihak terkait lainnya dalam pembahasan masa depan tambang rakyat, mengingat blok WPR desa Oyom adalah satu-satunya WPR di Kabupaten Tolitoli.
Marwan meminta jika WPR Oyom tidak dapat diperjuangkan karena status kawasan, maka hal itu Patut dipertanyakan soal mengapa rakyat diberikan wilayah pertambangan pada tempat yang tidak layak.
Apakah pemerintah tidak ikhlas untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk dapat menikmati sumber daya alam sebagaimana yang dinikmati perusahaan-perusahaan tambang lainnya ? tanya Marwan. (**)
Penulis : Mahdi Rumi