Harian Sulawesi | Parimo – Pemerintah daerah (Pemda) Parigi Moutong pasca naiknya harga BBM oleh pemerintah pusat terus berupaya melakukan pencegahan dini terkait ‘adanya’ gerakan sejumlah oknum yang mencoba melakukan penimbunan.
Langkah Pemda bersama Kepolisian saat ini ternyata dinilai tepat sebagai upaya pemerataan penggunaan BBM kepada masyarakat yang membutuhkannya.
Tapi, akhir-akhir ini yang terjadi di wilayah pedesaan, khususnya kepada petani pemilik Hand Traktor seperti merasa ‘terbelenggu’ akibat diberlakukan surat ‘wasiat’ bagi petani ketika ingin membeli solar di SPBU.
Akibatnya, para pemilik Hand Traktor ataupun pemilik mobil alat pemanen padi terpaksa memilih jalur khusus, yaitu membeli solar kepada oknum penimbun dengan harga Dua setengah kali HET pemerintah.
Cara ini terpaksa dilakukan oleh petani pemilik hand traktor untuk bekerja mengejar jadwal tanam walau harganya sangat mahal demi kebutuhan. Sedangkan untuk pembelian solar di SPBU butuh waktu lama karena harus menggunakan surat ‘wasiat’ yang ditandatangani Kades, Camat hingga Kadis Pertanian.
Demikian sekelumit pernyataan politisi Demokrat Dapil Satu Drs H. Suardi di Paripurna DPRD Parimo, Selasa (13/9)2022) dihadapan Wakil Bupati Badrun Nggai SE saat menghadiri Paripurna yang dipimpin Drs Alfreds Tonggiroh MSi.
Menurut mantan Ketua Kelompok Tani Parimo ini, soal penegakan hukum yang disuarakan oleh Pemda itu sangat didukung sepenuhnya oleh DPRD. Tapi jika ditelusuri kedalamnya, petani itu banyak yang mengeluh.
“Kalau dikatakan bahwa BBM solar itu langkah, kenapa diluar tidak pernah hilang. Kapan oknum tersebut ingin membelinya, tetap ada solarnya. Sedangkan petani ingin membeli ditempat khusus, selalu tidak ada. Pertanyaannya, kenapa bisa ?” Tegas politisi Demokrat ini.
Yang anehnya lagi tambah H. Suardi, ketika hal ini dipermudah oleh pemerintah tentang cara mudah pembelian solar di SPBU, ternyata masih saja ditemui kendala walaupun bentuk surat ‘wasiat’ itu ada persetujuan dari kepala desa dan diketahui oleh Camat.
Sementara pihak SPBU akan melayani permintaan petani apabila ada persetujuan dari Dinas Pertanian. Sementara pihak Dinas terkait justru ‘enggan’ memberikan rekomendasi tersebut sebagaimana laporan dari petani asal Kecamatan Balinggi.
“Pihak Dinas beralasan bahwa alat pemotong padi (Dores) itu dari Masaru. Sedangkan alatnya ada di Balinggi. Apa bedanya antara Masaru dan Balinggi. Itukan sama-sama republik” kesalnya.
Hal inilah politisi Demokrat ini khawatirkan, oleh karena di Parimo masih ada ‘mafia’ tambang yang mengurung solar sehingga para petani mendapatkan solar sangat sulit.
“Saya mohon kepada Wakil Bupati yang kebetulan hadir di acara resmi Paripurna seperti ini untuk bisa menindak-lanjuti laporan kami sebagai upaya adanya pemerataan bagi kebutuhan solar oleh petani” tutupnya. (**)
Laporan : Sumardin (Pde)