Pahlawan Nasional Tombolotutu ‘Pilih Mati’ Daripada Menyerah pada Belanda

Penulis: Petrik Matanasi 11 November 2021

Harian Sulawesi Online | Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 4 tokoh di Istana Negara, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Penganugerahan ini diberikan bersamaan perayaan Hari Pahlawan yang jatuh setiap 10 November.

Ke-empat tokoh itu yakni Tombolotutu dari Sulawesi Tengah, Sultan Aji Muhammad Idris dari Kalimantan Timur, Usmar Ismail dari DKI Jakarta, Raden Aria Wangsakara dari Banten.

Tombolotutu adalah penguasa Kerajaan Moutong yang terletak di sekitar Teluk Tomini. Dia dianugerahi gelar pahlawan nasional atas perlawanannya terhadap kolonialis Belanda di pergantian abad ke-19 dan ke-20.

Di masa itu, pemerintah Hindia Belanda memang tengah mengahadapi banyak perlawanan dari rakyat dan penguasa lokal di Sulawesi, Sumatra, dan Bali. Selain Tombolotutu dari Moutong, seperti dicatat buku Republik Indonesia: Propinsi Sulawesi (1953, hlm. 71), perlawanan terhadap Belanda di Sulawesi Tengah juga digalang oleh Raja Lemba di Sigi, Biromoru (1904), rakyat Toli-toli di Salumpaga, Sigipalu di Kulawi, rakyat Banggai.

Ada pula tokoh Marundu dan rakyat Mori yang melawan Belanda di Mori Kolonodale. Bambang Suwondo dalam Sejarah Daerah Sulawesi Tengah (1984, hlm. 75) menyebut raja-raja Moutong adalah keturunan orang-orang Mandar dari Sulawesi Barat.

Tombolotutu adalah anak dari Massu nin Mangaltung yang kawin dengan Lara asal Kepulauan Togean. Sebelum Tombolotutu jadi raja, pemerintah kolonial Hindia Belanda mendekati raja-raja Moutong terdahulu.

Para raja pendahulu itu menolak hubungan dengan pemerintah kolonial Belanda. Kala Tombolotutu naik takhta menggantikan Raja Pondatu, dia pun mengambil kebijakan yang sama seperti para pendahulunya.

Perlawanan Pertama Tombolotutu Sebagai raja, Tombolotutu punya penggawa bernama Dae Malino. Keduanya masih terhitung keluarga jauh. Namun, Dae Malino kemudian memilih pindah ke Tinombo. Dia juga disebut-sebut punya ambisi menjadi raja sehingga mau bekerja sama dengan Belanda.

Perlawanan Kedua Tombolotutu Setelah perlawanannya dipatahkan, Tombolotutu mengungsi ke Pulau Walea (Togean). Militer Hindia Belanda tentu saja tetap memburunya.

Tapi, Tombolotutu lalu kembali lagi ke Moutong untuk menggalang perlawanan kedua. Bambang Suwondo menyebut KNIL lalu menyambut kedatangan Tombolotutu dengan serangan yang membuatnya terpaksa mundur ke Gunung Lobu.

Tombolotutu lalu hijrah ke Gunung Taopa dan membuat basis pertahanan di Bolanosauh. Kali ini, Tombolotutu dan pasukannya cukup mampu membuat KNIL kerepotan. Dia juga dapat bantuan lagi dari laskar Bolano.

Namun, Tombolotutu sendiri tetap harus mundur ke gunung karena daya tahan pasukannya terbatas. Untuk mematahkan kekuatan Tombolotutu, KNIL memutuskan untuk melemahkan Bolano terlebih dahulu. KNIL lalu membakar kampung-kampung di Bolano dan “mengamankan” Raja Makagili.

Tak hanya itu, Belanda akhirnya mengasingkan sekutu Tombolotutu itu ke Makassar—hingga dia meninggal dunia di sana. Setelah itu, Tombolotutu dan pasukannya pun mulai keteteran menghadapi KNIL.

Tombolotutu dan pasukannya berhasil didesak hingga mundur ke Toli-toli lalu pegunungan Tinombo. Posisi Tombolotutu makin sulit kala mertuanya dari Toribulu menolak membantu. Tombolotutu kala itu harus ditandu pengikutnya karena kakinya sakit ketika berada di sekitar Pegunungan Donggulu.

Bambang Suwondo menyebut bahwa militer Belanda mengancam bakal membunuh rakyat Donggulu jika Tombolotutu tak bisa ditangkap. Belanda bahkan menebar janji bakal membebaskan rakyat dari kerja paksa atau pajak.

Belanda juga berlaku licik cengan menawan mertua Tombolotutu di sebuah kapal. Penguasa Donggulu pun tak kuasa melawan kehendak Belanda dan kemudian turut memerangi Tombolotutu.

Sejak itu, kekuatan gerilya raja Tombolotutu pun makin melemah. Pada 1904, militer Belanda berhasil mengepung basis pasukan Tombolotutu. Kala terdesak, Tombolotutu lantas menyerahkan Keris Locari miliknya kepada seorang pengawal.

Dia lalu meminta si pengawal untuk menikamnya sampai mati. Bagi Tombolotutu, lebih baik mati daripada ditawan dan tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.

Setelah wafat, jenazah Tombolotutu lalu diurus mertuanya dan dikubur di Toribulu. Kumudian, atas restu pemerintah kolonial Belanda, naiklah Dae Malino menjadi raja Moutong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *